1.
Kaitkan sistem Gerakan Banteng Soemitro dengan program ekonomi di masa sekarang
ini!
Program
Benteng
adalah kebijakan ekonomi yang diluncurkan pemerintah Indonesia bulan April 1950
dan secara resmi dihentikan tahun 1957. Tujuannya adalah membina pembentukan
suatu kelas pengusaha Indonesia "pribumi" (dalam arti
"non-Tionghoa).
LATAR
BELAKANG
Pada tahun 1950-an, ada tekanan
politis yang meningkat agar kekuasaan ekonomi diambil dari perusahaan swasta
Belanda yang masih ada di Indonesia saat itu, demi penyelesaian Revolusi.
Namun, Indonesia masih memerlukan modal dan keterampilan asing untuk
menghasilkan pembangunan ekonomi yang diperlukan untuk menghadapi peningkatan
jumlah penduduk. Bulan Februari 1950, presiden Soekarno sudah sempat
menyampaikan kepada kalangan perusahaan asing bahwa pemulihan ekonomi Indonesia
setelah selesainya Revolusi memerlukan dikerahkannya segala sumber modal, baik
asing maupun dalam negeri. Tahun 1953 menteri Keuangan Ong Eng Die menyatakan
bahwa peranan perusahaan asing dalam pembangunan ekonomi Indonesia perlu
dicantumkan secara jelas dalam rencana pembangunan mendatang.
Program Benteng merupakan suatu cara
mengembangkan peranan orang Indonesia dalam ekonomi tanpa merugikan perusahaan
asing, terutama Belanda.
« PELAKSANAAN
Program Benteng melewati sejumlah
tahap, dengan pengubahan dalam banyak kesempatan. Program terutama mencakup
impor, karena modal yang diperlukan tidak terlalu besar. Lagipula, peranan
Belanda sangat terasa di bidang ini, terutama lewat lima perusahaan niaga besar.
Pada mulanya yang ditekankan adalah
barang mana yang wajib diimpor oleh pengusaha pribumi. Kemudian, yang
dibicarakan adalah persyaratan mengenai kelayakan memperoleh lisensi impor.
Tahun 1950 sudah sempat ditentukan bahwa paling tidak 70% dari pemegangan saham
perusahaan harus dimiliki "bangsa Indonesia asli". Bulan Mei dan Juni
1953, debat mengenai penaikan persentase ini, termasuk tuduhan diskriminasi
terhadap importir Tionghoa, berakibatkan jatuhnya Kabinet Wilopo.
Program Benteng ditinjau kembali
bulan September 1955 oleh Kabinet Burhanuddin Harahap dan menteri Keuangan
Sumitro Djojohadikusumo. Syarat berdasarkan suku dicabut dan diganti dengan
persyaratan ketat mengenai pembayaran uang muka.
Dibentuknya Kabinet Karya di bawah
Djuanda Kartawidjaja bulan Maret dan April 1957 ditandai dengan pengalihan ke
"ekonomi terpimpin". Program Benteng resmi dihentikan.
Sistem
Perekonomian Indonesia
Setiap negara menganut sistem
ekonomi yang berbeda-beda terutama Indonesia dan Amerika serikat , dua negara
ini pun menganut sistem ekonomi yang berbeda. Awalnya Indonesia menganut sistem
ekonomi liberal, yang mana seluruh kegiatan ekonomi diserahkan kepada
masyarakat. Akan tetapi karena ada pengaruh komunisme yang disebarkan oleh
Partai Komunis Indonesia, maka sistem ekonomi di Indonesia berubah dari sistem
ekonomi liberal menjadi sistem ekonomi sosialis.
Pada masa Orde Baru, sistem ekonomi
yang dianut oleh bangsa Indonesia diubah kembali menjadi sistem demokrasi
ekonomi. Namun sistem ekonomi ini hanya bertahan hingga masa Reformasi. Setelah
masa Reformasi, pemerintah melaksanakan sistem ekonomi yang berlandaskan
ekonomi kerakyatan. Sistem inilah yang masih berlaku di Indonesia.
- Sistem Ekonomi Kerakyatan
Pemerintah bertekad melaksanakan
sistem ekonomi kerakyatan dengan mengeluarkan ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia Nomor IV/MPR/1999, tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara yang menyatakan bahwa sistem perekonomian Indonesia adalah sistem
ekonomi kerakyatan. Sistem ekonomi ini berlaku sejak tahun 1998. Pada sistem
ekonomi kerakyatan, masyarakatlah yang memegang aktif dalam kegiatan ekonomi,
sedangkan pemerintah yang menciptakan iklim yang bagus bagi pertumbuhan dan
perkembangan dunia usaha. Ciri-ciri sistem ekonomi ini adalah :
1.
Bertumpu pada mekanisme pasar yang
berkeadilan dengan prinsip persaingan yang sehat.
2.
Memerhatikan pertumbuhan ekonomi,
nilai keadilan, kepentingan sosial, dan kualitas hidup.
3.
Mampu mewujudkan pembangunan
berwawasan lingkungan dan berkelanjutan.
4.
Menjamin kesempatan yang sama dalam
berusaha dan bekerja.
5.
Adanya perlindungan hak-hak konsumen
dan perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat.
"Dari uraian di atas dapat
dikaitkan bahwa antara Gerakan Benteng dan Sistem ekonomi yang berlangsung
sekarang ini mempunyai ciri yang sama yaitu memberikan rakyat ruang untuk aktif
dalam berekonomi. Dalam Gerakan Benteng disebutkan bahwa yang diberi kesempatan
adalah rakyat pribumi karena pada saat itu pengusaha pribumi tidak banyak
berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Bantuan tersebut berupa bimbingan
konkret atau bantuan kredit. Selain memberikan bantuan modal, pemerintah
berusaha membangun kewirausahaan pribumi agar mampu membentengi perekonomian
negara. Sedangkan dalam sistem perekonomian sekarang ini, antara pribumi dan
etnis yang lainnya (contoh : China) dinilai
telah memiliki kemampuan yang sama rata. Oleh karena itu, dalam sistem
peekonomian yang sekarang lebih mengorientasikan tentang cara bersaing secara
sehat dan cara memperbaiki sistem, misalnya pembangunan yang lebih berwawasan
kepada lingkungan hingga diadakannya perlindungan hak-hak konsumen dan
perlakuan yang adil bagi seluruh rakyat."
2.
Bandingkan sistem Gunting Syafruddin dengan sistem Redominasi
1. GUNTING SYAFRUDDIN
Pada tanggal 19 Maret 1950, sanering pertama
kali dikenal dengan nama "gunting syafrudin" dimana uang kertas
betul-betul digunting menjadi dua secara fisik dan nilainya. Dia memerintahkan
agar seluruh ‘uang merah’ NICA (Nederlandsch Indië Civil Administratie) dan
uang De Javasche Bank/DJB (bentukan penjajah belanda yang kemudian berubah nama
menjadi BI/Bank Indonesia) yang bernilai rp 5 ke atas digunting menjadi dua
bagian.
· Gunting Sjafruddin adalah kebijakan
moneter yang ditetapkan oleh Syafruddin Prawiranegara, Menteri Keuangan dalam
Kabinet Hatta II, yang mulai berlaku pada jam 20.00 tanggal 10 Maret 1950.
· Gunting Syafrudin adalah plesetan
yang diberikan rakyat atas kebijakan ekonomi (khususnya moneter) yang
ditetapkan mulai berlaku Jumat, 10 Maret 1950.
Menurut kebijakan itu, "uang
merah" (uang NICA) dan uang De Javasche Bank dari pecahan Rp 5 ke atas
digunting menjadi dua. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran
yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula sampai tanggal 9 Agustus pukul
18.00.
Mulai 22 Maret sampai 16 April, bagian
kiri itu harus ditukarkan dengan uang kertas baru di bank dan tempat-tempat
yang telah ditunjuk. Lebih dari tanggal tersebut, maka bagian kiri itu tidak
berlaku lagi alias dibuang.
Guntingan kanan dinyatakan tidak
berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari
nilai semula, dan akan dibayar 40 tahun kemudian dengan bunga 3% setahun.
"Gunting Sjafruddin" itu juga berlaku bagi simpanan di bank. Pecahan
Rp 2,50 ke bawah tidak mengalami pengguntingan, demikian pula uang ORI (Oeang
Republik Indonesia).
Kebijakan ini dibuat untuk mengatasi
situasi ekonomi negara yang saat itu sedang terpuruk yaitu utang menumpuk,
inflasi tinggi dan harga melambung. Dengan politik pengebirian uang tersebut,
bermaksud menjadi solusi jalan pintas untuk menekan inflasi, menurunkan harga
barang dan mengisi kas pemerintah untuk membayar utang yang besarnya
diperkirakan akan mencapai Rp 1,5 milyar.
Pada tanggal 25 Agustus 1959 terjadi
sanering kedua yaitu uang pecahan Rp 1000 (dijuluki Gajah) menjadi Rp 100, dan
Rp 500 (dijuluki Macan) menjadi Rp 50. Deposito lebih dari Rp 25.000 dibekukan.
1 US $ = Rp 45. Setelah itu terus menerus terjadi penurunan nilai rupiah
sehingga akhirnya pada Bulan Desember 1965, 1 US $ = Rp 35.000.
Seperti juga ‘gunting Syafrudin’,
politik pengebirian uang yang dilakukan soekarno membuat masyarakat menjadi
panik. Apalagi diumumkan secara diam-diam, sementara televisi belum muncul dan
hanya diumumkan melalui RRI (Radio Republik Indonesia).
Karena dilakukan hari Sabtu,
koran-koran baru memuatnya Senin. Dikabarkan banyak orang menjadi gila karena
uang mereka nilainya hilang 50 persen. Yang paling menyedihkan mereka yang baru
saja melakukan jual beli tiba-tiba mendapati nilai uangnya hilang separuh.
Pada tanggal 13 Desember 1965
dilakukan Sanering yang ketiga yaitu terjadi penurunan drastis dari nilai Rp
1.000 (uang lama) menjadi Rp 1 (uang baru). Sukarno melakukan sanering akibat
laju inflasi tidak terkendali (650 persen). Harga-harga kebutuhan pokok naik
setiap hari sementara pendapatan per kapita hanya 80 dolar us.
Sebelum sanering, pada bulan
november 1965 harga bensin naik dari rp 4/liter menjadi rp 250/ liter (naik
62,5 kali). Nilai rupiah anjlok tinggal 1/75 (seper tujuh puluh lima) dari
angka rp 160/ us$ menjadi Rp 120,000 /us$.
Setelah sanering ternyata bukan
terjadi penurunan harga malah harga jadi pada naik. Pada tanggal 21 Januari
1966 harga bensin naik dari rp 250/liter menjadi rp 500/ liter & harga
minyak tanah naik dari rp 100/ltr menjadi rp 200/ltr (naik 2 kali).
Sesudah itu tanpa henti terjadi
depresiasi nilai rupiah sehingga ketika terjadi krisis moneter di Asia pada
tahun 1997 nilai 1 us $ menjadi rp 5.500 dan puncaknya adalah mulai April 1998
sampai menjelang pernyataan lengsernya suharto maka nilai 1 us $ menjadi rp 17.200.
Lalu apakah kebijakan politik
pengebirian nilai fiat money (uang kertas) ini bakal terulang lagi? Sebenarnya
pengebirian nilai fiat money ini terjadi secara halus dan perlahan tapi pasti,
buktinya bisa dilihat dari kenaikkan harga barang dari tahun ke tahun, yang
sesungguhnya adalah pengurangan nilai fiat money. Padahal harga barang itu
tetap, tapi karena nilai fiat money yang kita pegang angkanya makin banyak tapi
daya belinya makin turun.
Sanering Rupiah adalah pemotongan
daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang. Hal yang sama tidak
dilakukan pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat menurun.
Dampak dari sanering, menimbulkan banyak kerugian
karena daya beli turun drastis.
Tujuan dari sanering, mengurangi
jumlah uang yang beredar akibat lonjakan harga-harga. Katanya program sanering
itu dilakukan karena ekonomi negara itu sangat buruk yang mendekati ambruk
karena hiper inflasi
Nilai uang terhadap barang dari
sanering, nilai uang terhadap barang berubah menjadi lebih kecil, karena yang
dipotong adalah nilainya.
Kondisi saat dilakukan, dalam
kondisi makro ekonomi tidak sehat, inflasi sangat tinggi (hiperinflasi).
Masa transisi Sanering tidak ada
masa transisi dan dilakukan secara tiba-tiba.
Contoh: Pada sanering, bila terjadi sanering per
seribu rupiah, maka dengan Rp 4,5 hanya dapat membeli 1/1000 atau 0,001 liter
bensin.
2. REDOMINASI
Topik yang sedang menarik perhatian
publik saat ini adalah redenominasi rupiah. Rencana Bank Indonesia untuk
melakukan redenominasi rupiah banyak mengundang kritik dari berbagai pihak dari
ahli ekonomi, pengamat bursa saham, pelaku bisnis dan lain-lainnya. Bank
Indonesia mengatakan, redenominasi rupiah tidak sama dengan sanering atau
pemotongan nilai mata uang. Sebab, dalam redenominasi meski tiga angka nol
terakhir dihilangkan, tapi nilainya sama.
Redenominasi Rupiah adalah
menyederhanakan denominasi (pecahan) mata uang menjadi pecahan lebih sedikit
dengan cara mengurangi digit (angka nol) tanpa mengurangi nilai mata uang
tersebut. Misal Rp 1.000 menjadi Rp 1.
Hal yang sama secara bersamaan
dilakukan juga pada harga-harga barang, sehingga daya beli masyarakat tidak
berubah.
Dampak dari Redenominasi, Pada
redenominasi, tidak ada kerugian karena daya beli tetap sama. Menurut BI uang
dengan nominal besar kurang efisien serta merepotkan pembayaran. Oleh karena
kebijakan tersebut akan bermanfaat besar bagi perekonomian yang akan membuat
pencatatan dan pembukuan akan lebih efisien.
Latar Belakang Kebijakan
Redenominasi, Bank Indonesia sedang mengkaji kebijakan redenominasi atas mata
uang rupiah. Kebijakan ini diambil setelah hasil riset World Bank yang
menyebutkan, Indonesia termasuk negara pemilik pecahan mata uang terbesar kedua
di dunia setelah Vietnam. Uang pecahan terbesar di tanah air Rp 100.000, hanya
kalah oleh dong Vietnam (VND) 500.000.
Tujuan dari Redenominasi,
menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman dalam melakuan
transaksi.Tujuan berikutnya, mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan
negara regional.
Nilai uang terhadap barang dari
Redenominasi, tidak berubah, karena hanya cara penyebutan dan penulisan pecahan
uang saja yang disesuaikan.
Kondisi saat dilakukannya
Redenominasi, Redenominasi dilakukans saat kondisi makro ekonomi stabil.
Ekonomi tumbuh dan inflasi terkendali.
Masa transisi, Redenominasi
dipersiapkan secara matang dan terukur sampai masyarakat siap, agar tidak
menimbulkan gejolak di masyarakat.
Contoh:
· Misalnya dari Rp 1000,- menjadi
Rp 1.- tanpa mengubah daya beli uang tersebut. Jika semula Rp 1000,- adalah
untuk harga sebuah cabe rawit (cengek, cabe-kutu atau lombok-api) maka sesudah
redenominasi dilakukan maka harganya adalah Rp 1,- Jika sesudah redenominasi
dilakukan kita tak lagi bisa membeli sebuah cengek dengan harga Rp 1,- misalnya
menjadi 110 sen maka ini bukan redenominasi murni melainkan sudah menjurus ke
devaluasi dan sanering.
· Pada redenominasi, bila terjadi
redenominasi tiga digit (tiga angka nol), maka dengan uang sebanyak Rp 4,5
tetap dapat membeli 1 liter bensin. Karena harga 1 liter bensin juga dinyatakan
dalam satuan pecahan yang sama (baru).
"Berdasarkan uraian yang
terdapat di atas, saya cenderung memilih Redominasi daripada sistem Sanering
(Gunting Syafruddin) hal ini dikarenakan terpengaruhinya nilai mata uang
setelah proses tersebut. Dalam sistem senering, dampak yang ditimbulkan adalah
banyaknya kerugian karena daya beli turun drastis. Pengurangan jumlah uang yang
beredar akibat lonjakan harga-harga itu dilakukan karena ekonomi negara sangat
buruk yang mendekati ambruk karena hiper inflasi, nilai uang terhadap barang
berubah menjadi lebih kecil, karena yang dipotong adalah nilainya. Sedangkan,
dalam Redominasi , Nilai uang terhadap barang tidak berubah, karena hanya cara
penyebutan dan penulisan pecahan uang saja yang disesuaikan. Redominasi ini
digunakan untuk menyederhanakan pecahan uang agar lebih efisien dan nyaman
dalam melakuan transaksi, dan mempersiapkan kesetaraan ekonomi Indonesia dengan
negara regional. Selain alasan tersebut, Redenominasi dipersiapkan secara
matang dan terukur sampai masyarakat siap menerima sistem baru yang akan
terjadi."
3.
Maksud dan tujuan dari Nasionalisme De Javasche Bank
Tujuan dari program
ini adalah memajukan pengusaha pribumi.Agar para pengusaha pribumi bekerjasama
memajukan ekonomi nasional. Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta
nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi
nasional. Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha
pribumi dan non pribumi. Selain itu, Nasionalisasi juga bertujuan menaikkan
pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara
drastis untuk memulihkan perekonomian bangsa Indonesai pasca gangguan dari
Benda, selain itu Pemerintah juga menganggap Belanda menyalahi aturan sehingga
Indonesia harus mengambil ketegasan.
Maksud dilakukan
Nasionalisasi De Javache Bank, antara lain
1. Republik Indonesia sebagai negara
yang berdaulat dan merdeka harus memiliki Bank sentral yang bersifat nasional
dan murni kepemilikan Bangsa Indonesia.
2. Untuk menjamin kepentingan Umum.
3. Karena De Javasche Bank masih
bersifat partikeler atau milik asing bukan nasioanal.
4. Untuk mengakhiri kedudukan De
Javasche Bank yang masih ada campur tangannya dengan Belanda.
Akhirnya De Javasche Bank saat ini
menjadi Bank Indonesia.
4.
Bandingkan pembentukan biro perancang negara pada orde baru dengan kabinet
kerja saat ini
Biro Perancang Negara dibentuk pada
masa kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan tugas merancang pembangunan negara
jangka pendek yang diketuai oleh Djuanda. Karena masa kerja kabinet yang
terlalu singkat biro ini tidak dapat bekerja maksimal.
"Program yang dilaksanakan
umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali
Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka
panjang.Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini
berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan
dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November
1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah"
-------------------------------
"Roml, Presiden Jokowi
diminta mengembalikan Tim Ekonominya kepada ekonom Rizal Ramli. Soalnya, kini
perekonomian Indonesia dinilai malah jauh dari harapan rakyat.
Hal ini dinyatakan Ketua Umum Dewan
Pimpinan Pusat Serikat Rakyat Indonesia (Serindo) Jones Batara Manurung. Menurutnya,
politik kerakyatan yang didengungkan Jokowi melalui Tri Sakti dan Nawa Cita
ternyata malah jauh dari rakyat.
Padahal, lanjutnya, politik
kerakyatan harus sejalan dengan ekonomi kerakyatan, sebagaimana diharapkan
masyarakat dengan janji-janji Jokowi pada Pilpres 2014 lalu.
Presiden butuh tim ekonomi yang
beridentitas profesional progresif yang dapat memecahkan kebuntuan tata kelola
ekonomi yang masih dikuasai segelintir kelompok," tutur Jones.
Dia mengungkapkan, model ekonom
seperti Rizal Ramli (RR) dapat menjadi salah satu yang bisa diharapkan dalam
tim ekonomi yang memiliki kapasitas dan keberanian (profesional progresif)
dalam misi pembangunan kembali ekonomi kerakyatan.
Dijelaskannya, RR memang sudah
pernah terlibat di Kabinet Kerja Presiden Jokowi, namun sayangnya keluar tanpa
reserve dari Kabinet Kerja.
"Karakter layaknya seorang
aktivis progresif, yang suka "ngepret" membuat seorang Rizal harus
digeser karena dianggap "mengganggu" kepentingan pihak
tertentu," ujar Jones.
Dikatakan Sekjen Relawan Duta Jokowi
ini, dengan Tim Ekonomi yan berjiwa kerakyatan (profesional progresif), sebenarnya
dapat menjadi stimulant upaya penuntasan agenda Jokowi sebagaimana janjinya
pada masa kampanye. Tim tersebut diharapkan dapat membuka jalan yang lebih mudah
untuk periode kedua Jokowi.
"Tim Ekonomi profesional
progresif ini bertugas membangun kembali fondasi sistem ekonomi kerakyatan
Indonesia untuk bisa menyingkirkan politik identitas dan memenangkan politik
kerakyatan," jelasnya.
Direktur Eksekutif Nasional Rumah
Tani Indonesia (RTI) ini juga menilai sosok RR saat menjabat menteri di Kabinet
Kerja memberi corak tersendiri. Dia merupakan sosok yang berani berbeda
pendapat dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait proyek pembangkit listrik
35.000 megawatt.
Terkait kontrak freeport, RR juga
berseberangan dengan Sudirman Said saat itu. Demikian pula dengan kebijakan
Pemerintah Propinsi DKI Jakarta tentang reklamasi Teluk Jakarta, Rizal Ramli
juga berseberangan. "
Dari dua kutipan yang saya ambil
dari artikel, menurut saya perbandingan dari sistem ekonomi pada saat kabinet
dahulu lebih mementingkan cara mengembalikan kemerosotan keuangan yang terjadi
dan mengatasi inflasi. namun, tidak berhasil karena jangka waktu yang terlalu
sedikit, sedangkan kabinet kerja sekarang
tidak memerhatikan cara mengatasi masalah keuangan yang ada melainkan meneruskan
kinerja sebelumnya dan berusaha mengembalikan kembali sistem menjadi sistem
ekonomi yang lebih berpihak kepada rakyat.
5.
Letak kegagalan sistem ekonomi ali baba, mengapa muncul sentimen (pribumi
nonpribumi)
Alasan
kegagalan Kabinet Ali
1.
Jatuh disebabkan adanya persoalan
dalam TNI-AD, yakni soal pimpinan TNI-AD menolak pimpinan baru yang diangkat
oleh Menteri Pertahanan tanpa menghiraukan norma-norma yang berlaku dalam
lingkungan TNI-AD.
2.
Persaingan ideologi juga tampak
dalam tubuh konstituante.Pada saat itu negara dalam keadaan kacau disebabkan
oleh pergolakan di daerah.
3.
Persaingan antara kelompok agama dan
nasionalis yang berlangsung sampai awal tahun 1960-an mengakibatkan keadaan
politik nasional tidak stabil.Hal tersebut sangat mengganggu jalannya
pemerintahan baik di tingkat pusat maupun daerah.
4.
Ingin menyatukan pengusaha pribmi
& tionghoa,tapi gagal karena pengusaha pribumi lebih konsumftif
dibandingkan dengan pengusaha tionghoa yang menghasilkan.Menjadi ladang korupsi
dan kolusi
5.
Orang-orang pribumi yang terlatih
dan berpengalaman terlalu sedikit
6.
Kaum pribumi tidak memiliki modal
kuat dan nyaris tidak mungkin untuk bersaing
Lantas mengapa sering muncul sentimen
antara kaum pribumi dan nonpribumi?
“Embrio” Pribumi dan Non-pribumi
Golongan pribumi dan non-pribumi
muncul sebagai akibat adanya perbedaan mendasar (diskriminasi) terutama dalam
perlakuan yang berbeda oleh rezim yang sedang berkuasa. Ini hanya terjadi jika
rezim yang berkuasa adalah pemerintahan otoriter, penjajah dan kroninya ataupun
nasionalisme yang sempit. Contoh, di zaman penjajahan Belanda, Belanda
memperlakukan orang di Indonesia secara berbeda didasari oleh etnik/keturunan.
Mereka yang berketurunan Belanda akan mendapat pelayanan kelas wahid, sedangkan
golongan pengusaha/pedagang mendapat kelas kedua, sedangkan masyarakat umum
(penduduk asli) diperlakukan sebagai kelas rendah (“kasta sudra”).
Setelah merdeka, para pejuang
kemerdekaan kita (Bung Karno, Hatta, Syahrir, dll) berusaha menghapuskan
diskriminasi tersebut. Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa
selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini
menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno
telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia”
yang diterbitkan tahun 1926. Ia
berpendapat bahwa untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa
yang kuat dibutuhkan semua elemen/golongan Untuk itu beliau mengajukan untuk menyatukan kekuatan
dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan
superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para
pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.
Setelah pemerintahan Bung Karno
direbut oleh kekuatan liberalis-kapitalis melalui Jenderal yang berkuasa dengan
tangan besi, Pak Harto, maka konotasi pribumi dan non-pribumi kembali
“terpelihara subur”. Agenda pembangunan makro yang direntenir oleh IMF dan Bank
Dunia membutuhkan golongan istimewa (haruslah minoritas) serta mengabaikan
golongan mayoritas. Maka perjalanan bangsa setelahnya menjadi pincang yang luar
biasa. Segelintir golongan memperkaya diri yang luar biasa, sedangkan golongan
terbesar harus bekerja keras dengan kesejahteraan pas-pasan. Indonesia yang
kaya raya dengan sumber daya alam baik di darat maupun laut hanyalah dirasakan
oleh golongan penguasan dan “peliharaan” penguasa. Rakyat jelata hanya menerima
ampas kekayaan alam Indonesia. Semua sari kekayaan di”sedot’ oleh perusahaan
asing dan segelintir penghianat bangsa.
Inilah mengapa, diera orde baru, konflik horizontal antara
penduduk miskin (disebut dan dilabeli
sebagai pribumi) dengan si kaya (umumnya dilabeli sebagai non pribumi)
berkembang dan namun erpendam. Kebencian diskriminasi ini akhirnya pecah di
tahun 1998. Namun sangat disayangkan, hanya segelintir kelompok si kaya –
“non-pribumi” yang kena getahnya. Massa kepalang berpikiran semua orang
keturunan adalah non-pribumi, sehingga gerakan mereka ibarat “menembak burung
di angkasa raya, namun sapi di sawah yang mati”. Burung (penguasa, penghianat,
si-kaya) masih beterbangan di angkasa Indonesia, Singapura, dan Amerika. Hingga saat ini, pemerintah hanya dapat
menonton “burung-burung” tersebut beterbangan bebas……Yang tewas adalah rakyat
miskin dan jelata.
6.
Tujuan rencana pembangunan lima tahun
Repelita atau Rencana Pembangunan
Lima Tahun adalah satuan perencanaan yang dibuat oleh pemerintah Orde Baru di
Indonesia.
- Repelita I (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian.
- Repelita II (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya melalui transmigrasi.
- Repelita III (1979–1984) menekankan bidang industri padat karya untuk meningkatkan ekspor.
- Repelita IV (1984–1989) bertujuan menciptakan lapangan kerja baru dan industri.
- Repelita V (1989–1994) menekankan bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
JANGAN ASAL COPAS YAA, IJIN DULU SAMA YANG PUNYA