Saturday 30 September 2017

Kondisi Politik Pada Masa Demokrasi Liberal

Hai sahabat bloggers~ pada postingan kali ini saya akan mempublish tugas Sejarah Indonesia yang saya dapatkan dari guru saya ^^
berikut ulasannya :

1. Kabinet Natsir
(6 September 1950 - 21 Maret 1951) 

 Kabinet Natsir

(Analisis Kondisi Sosial Dan Budaya)
Pasca proklamasi kemerdekaan banyak terjadi perubahan sosial yang ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada khususnya. Dikarenakan sebelum kemerdekaan di proklamasikan, d idalam kehidupan bangsa Indonesia ini telah terjadi diskriminasi rasial dengan membagi kelas-kelas masyarakat. Yang mana masyarakat di Indonesia sebelum kemerdekaan di dominasi oleh warga eropa dan jepang, sehingga warga pribumi hanyalah masyarakat rendahan yang kebanyakan hanya menjadi budak dari bangsawan atau penguasa.
Tetapi setelah 17 agustus 1945 segala bentuk diskriminasi rasial dihapuskan dari bumi bangsa Indonesia dan semua warga negara Indonesia dinyatakan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam segala bidang.
Kehidupan Sosial-Budaya Masa Demokrasi Liberal



a.    Pendidikan
Setelah diadakan pengalihan pendidikan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RIS tahun 1950, oleh mentri pendidikan Dr. Abu Hannifah, disusun sebuah konsep pendidikan yang menitik beratkan pada spesialisasi. Garis bersar konsep tersebut mencakup berbagai hal diantaranya adalah pendidikan umum dan pendidikan teknik dilaksanakan dengan perbandingan 3 : 1. Bagi setiap sekolah umum mulai dari bawah ke atas diadakan 1 sekolah teknik. Sebagai lanjutannya adalah sekolah teknik menengah dan sekplah teknik atas yang masing-masing ditempuh dalam 3 tahun.
Selain itu, karena Iindonesia adalah negara kepulauan, maka dibeberapa kota didakan akademik pelayaran. Akademik Oseonografi dan Akademik Reserch Laut yang didirikan di kota Surabaya, Makasar, Ambon, Manado, Padang dan Palembang. Untuk tenaga pengajar didatangkan dari luar negeri seperti Inggris, Amerika dan Prancis. Selanjutnya juga didirikan sekolah tinggi pertanian. Direncanakan diSumatra Barat dekat Payakumbuh diadakan filial dari Sekolah Tinggi Pertanian Bogor. Namun, konsepsi tersebut hilang saat kabiner Hatta berhenti. Oleh Menteri Abu Hafiah juga dirancangkan kota universiter untuk kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bukittinggi. Direncanakan pula untuk mendirikan akademik voor wetenschappen.
Sistem pendidikan diadakan  dengan titik berat desentralisasi, yaitu dari sekolah dasar hingga sekolah menengah pertama menjadi urutan daerah dan supervisi pusat. Sekolah menengah atas menjadi tanggung jawab pemerintah pusat baik mengenai masalah keuangan maupun mata pelajaran. Dalamrangka konsolidasi universitas-universitas negara, dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 7 tahun 1950 yang mewajibkan Mentri Pendidikn Pengajaran dan Kebudayaan Republik Indonesia Serikat, jika perlu mengambil tindakan dari peraturan yang berlaku dan lain lain.

B. Seni
Seni tari pada periode tahun 1945-1955 pembaharuannya baru terbatas pada teknik penyajian. Pada waktu itu pengaruh komunis sangat terasa, tarian klasik yang dianggap berbau keraton dikesampingkan dan muncuk tarian yang bertema kerakyatan dan kehidupan sehari-hari, seperti tari tani, tari tenun, tari nelayan dan tari koperasi. Perkembangan semacam ini berkembang diseluruh tanah air. Pada tahun 1950 di Surakarta didirikan Konservatori Karawitan, maksud dari didirikannya konservatori karawitan ini adalah untuk mempertinggi serta memperkembangkan karawitan.

C. Media komunikasi masa
Ciri umum dari pers pada masa demokrasi liberal adalah ditandai dengan prinsip-prinsip liberal dalam penulisan berita, tajuk rencana da pojok. Pada umumnya memiliki segi komersial yang kurang meskipun telah diasuh secara liberal.
Suatu ciri khusus pada masa liberal adalah surat kabar bekas milik Dinas Penerangan Belanda yang kemudian diambil alih oleh tenaga bangsa Indonesia. Ternyata dalam pengurusannya jauh lebih baik dibandingkan pers yang diusahakan oleh modal awasta nasional.

2. Kabiet Sukiman
(26 April 1951 - 23 Februari 1952) 

(Dampak positif negatif MSA)
 
Kabinet Sukiman


Dampak Positif Perjanjian MSA
1.    Meningkatnya keamanan negara Indonesia
Dengan tertandatanganinya perjanjian ini, negara Indonesia mendapat bantuan militer dari AS untuk menjaga Indonesia dari segala ancaman terutama ancaman paham komunis. Hal ini sesuai dengan isi perjanjian tersebut dimana AS berusaha membendung paham komunis agar Teori Domino tidak terjadi. 
2.    Perekonomian negara Indonesia semakin maju
Tak hanya bantuan militer, Indonesia juga mendapat bantuan ekonomi dari Amerika untuk meningkatkan pembangunan dan mengatasi masalah perekonomian negara Indonesia, sesuai syarat yang ditawarkan oleh AS, yaitu “Sebagai imbalan negara peminjam diwajibkan : Berusaha menstabilkan keuangan masing-masing negara dan melaksanakan anggaran pendapatan yang berimbang. Mengurangi penghalang-penghalang yang menghambat kelancaran perdagangan antara negara-negara peminjam. Mencegah terjadinya inflasi. Menempatkan perekonomian negara masing-masing negara atas dasar sendi-sendi perekonomian yang sehat. Memberikan bahan-bahan yang diperlukan Amerika Serikat untuk kepentingan pertahanan. Meningkatkan persenjataan masing-masing negara untuk kepentingan pertahanan.” 
3.    Terhadangnya paham komunis masuk ke Indonesia
                  Alasan utama mengapa AS mengadakan perjanjian ini adalah untuk menghadang komunisme agar tida terjadi teori domino. Teori domino adalah teori yang berspekulasi bahwa apabila sebuah negara di suatu kawasan terkena pengaruh komunisme, negara-negara sekitarnya akan ikut dipengaruhi komunisme lewat efek domino. Teori yang sering didengungkan pada tahun 1950-an sampai 1980-an ini digunakan oleh beberapa presiden Amerika Serikat semasa Perang Dingin sebagai alasan intervensi A.S. di seluruh dunia. Salah satu syarat agar mendapat bantuan AS adalah “Bantuan akan dihentikan apabila di negara peminjam terjadi pergantian kekuasaan yang mengakibatkan negara tersebut melaksanakan paham komunis.”
4.    Terjalinnya sebuah kerja sama antara Indonesia dengan AS
Dengan terjalinya kerja sama, hal ini akan membantu sesama negara apabila mengalami kesulitan dalam mengelola negara

 Dampak negatif perjanjian MSA
1.    Lengsernya kabinet Sukiman
Pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo dan Duta Besar Amerika Merle Cochran menjadi penyebab lengsernya kabinet ini. Isi nota tersebut adalah bantuan ekonomi dan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan Mutual Security Act (MSA) atau lebih dikenal dengan nama undang-undang kerja sama keamanan.
Hal tersebut dinilai menciderai konsep politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut oleh Indonesia. Kabinet Sukiman dituduh telah menjadikan Indonesia masuk ke dalam Blok Barat. Hal itulah yang membuat DPR menggugat kebijakan kabinet tersebut dan akhirnya kabinet tersebut jatuh.
2.    Tidak maksimalnya pembangunan Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet Sukiman
Dengan lengsernya kabinet Sukiman, semua pembangunan yang telah direncanakan sebelumnya tida terealisasikan, akibatnya pembangunan di Indonesia tidak maksimal. 

3. Kabinet Wilopo
(30 Maret 1952 - 2 Juni 1953) 

Kabinet Wilopo

(Analisis Peristiwa Tanjung Morawa)
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi pada 16 Maret 1953 di daerah Tanjung Morawa (sekarang bernama Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Peristiwa ini merupakan konflik perebutan lahan seluas 255.000 Hektar yang merupakan perkebunan kelapa sawit, teh dan tembakau milik perusahaan Belanda bernama Deli Palnters Vereniging (DPV) yang dikerjakan oleh Pribumi dan keturunan Tionghoa ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Peristiwa Tanjung Morawa turut menyeret jatuhnya Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo pada era Demokrasi Liberal (1950-1959). 
Permasalahan Tanjung Morawa muncul ketika tanah yang sebelumnya digarap oleh pribumi dan Tionghoa harus dikembalikan kepada DPV atas dasar Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan KMB menghasilkan pengakuan kemerdekaan, namun dengan syarat pengembalian lahan kepada investor asing tak terkecuali Belanda. Luas tanah DPV sebelum meletusnya PD II adalah 255.000 Ha. Tanah seluas 125.000 Ha adalah tanah yang diminta DPV, sedangkan sisanya yaitu 130.000 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
Atas kesepakatan tersebut, Kabinet Wilopo mengutus Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem untuk melakukan pengosongan lahan. Pengosongan tersebut ditujukan kepada Gubernur Sumatera, A. Hakim. Perintah tersebut semula akan dituruti oleh masyarakat petani dan keturunan Tionghoa, namun terjadi provokasi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi dibawah naungan PKI sehingga yang awalnya bersikap kooperatif menjadi menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut.
Penolakan tersebut akhirnya berujung pada konflik pada tanggal 16 Maret 1953. Pemerintah mengerahkan unit traktor dan mendapatkan perlindungan dari aparat Brigade Mobil (Brimob). Para petani melakukan aksi demonstrasi atas pentraktoran dan bentrokpun tak terhindarkan. Pada insiden tersebut terjadi tragedi penembakan yang menimbulkan 21 korban, dimana 6 diantaranya tewas.
Insiden ini kemudian menjadi perbincangan di Parlemen Indonesia. Bisa dibilang kejadian Tanjung Morawa kemudian menjadikan kesempatan dari partai oposisi di parlemen untuk menjatuhkan Kabinet Wilopo. Tokoh - tokoh PNI mencela pemerintah, kemudian Sidik Kertapati yang merupakan tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) melayangkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo. Akibat mosi tidak percaya ini, kemudian diadakan tindak lanjut dan diputuskan PM Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953. 

4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I
(30 Juli 1953 - 24 Juli 1955)

Kabinet Ali Sastroamidjojo I

 (Analisis mengapa terdapat koalisi PNI dan NU, sedangkan Masyumi sebagai oposisi)
Pada tanggal 3 Juni 1953, Perdana Menteri Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden sebagai akibat dari Peristiwa Tanjung Morawa. Dengan demikian kabinet dinyatakan demisioner. Kabinet Ali Sastroamijdojo merupakan kabinet pengganti dari Kabinet Wilopo. Kabinet Ali mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan selama 58 hari (sepeninggalan Kabinet Wilopo).
Untuk mengisi jabatan Perdana Menteri ditunjuk Ali Sastroamidjojo yang saat itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Ali Sastroamidjojo dari PNI sempat ragu, karena selama ini belum pernah diajak bicara oleh partainya mengenai pembentukkan kabinet. Tetapi setelah didesak oleh Ketua Umum PNI, Sidik Joyosukarto, akhirnya Ali Sastroamidjojo mau menduduki jabatan perdana menteri. Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1953, Presiden mengumumkan pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo yang kemudian disahkan dengan Keputusan Presiden RI No. 132 Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953. Pelantikan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri dilangsungkan di Istana Negara pada tanggal 12 Agustus 1953.
Dalam Kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam hal ini NU (Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik baru. Maka dari itu, terjadilah koalisi antara PNI dan NU. Mengapa Masyumi tidak ikut serta sehingga menjadi pihak oposisi? Hal ini karena adanya beberapa perbedaan dan arah tujuan di antara kalangan politii pada waktu revolusi.
Perseteruan antara Presiden dan Masyumi terjadi pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang terjadi perbedaan pendapat antara Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian dengan Jepang, dan penerimaan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan Sukiman yang akan melakukan pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno tetap menahan diri. Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya satu-satunya usaha yang serius  pada masa itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis menjadi marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan Masyumi, karena strategi mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih terus bertikai satu sama lain.
Selanjutnya pada kabinet Wilopo perdebatan antara Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah ideologi atau dasar negara Indonesia. Sukarno pernah berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan tanggal 27 Januari 1953. Pada kesempatan itu pula ia berpidato tentang keinginan negara nasional dan bukan negara berdasarkan Islam. Pernyataan Sukarno itu mendapat tanggapan berbagai kalangan, khususnya tokoh-tokoh Masyumi.
Keterlibatan PKI sejauh ini belum terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang memanasnya hubungan Sukarno dengan Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden, Kabinet Ali I mulai menjalankan pemerintahan pada tanggal 12 Maret 1953. Pada masa inilah untuk pertama kalinya Masyumi tidak duduk dalam kabinet, sehingga menempatkan Masyumi dalam partai oposisi.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap
(12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)

 Burhanuddin Harahap

(Analisis kondisi rakyat untuk pemilu pertama kali)
Pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasianpemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa.  Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.
Hasil Pemilu Tahap I(29 september 1955)
Pada tanggal 29 September 1955 lebih dari 39 juta rakyat Indonesia memberikan suararanya dikotak-kotak suara. Hasil pemilihan Umum I yang diikuti 172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan) yang berhasil memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-turut memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57 kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia (39 kursi/15,4%).
Berikut merupakan tabel hasil Pemilu tahap pertama tahun 1955 :
No
Nama Partai
Julmlah Suara
Prosentase
Jumlah Kursi
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
8.434.653
22,32
57
2.
Masyumi
7.903.886
20,92
57
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.955.141
18,41
45
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.179.914
16,36
39
5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.091.160
2,89
8
6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
1.003.326
2,66
8
7.
Partai Katolik
770.740
2,04
6
8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
753.191
1,99
5
9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
541.306
1,43
4
10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
483.014
1,28
4
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
242.125
0,64
2
12.
Partai Buruh
224.167
0,59
2
13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
219.985
0,58
2
14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
206.161
0,55
2
15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
200.419
0,53
2
16.
Murba
199.588
0,53
2
17.
Baperki
178.887
0,47
1
18.
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
178.481
0,47
1
19.
Grinda
154.792
0,41
1
20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai)
149.287
0,40
1
21.
Persatuan Daya (PD)
146.054
0,39
1
22.
PIR Hazairin
114.644
0,30
1
23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI) 85.
85.131
0,22
1
24.
AKUI
81.454
0,21
1
25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
77.919
0,21
1
26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
72.523
0,19
1
27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
64.514
0,17
1
28
R.Soedjono Prawirisoedarso
53.306
0,14
1
29.
Lain-lain
1.022.433
2,71
1


37.785.299
100,00
257

Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili Eropa. Dengan demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272 orang.
Hasil Pemilu Tahap II
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh dalam pemilihan anggota DPR.
Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah sebagai berikut :
No
Nama Partai
Jumlah Suara
Prosentase
Jumlah Kursi
1.
Partai Nasional Indonesia (PNI)
9.070.218
23,97
119
2.
Masyumi
7.789.619
20,59
112
3.
Nahdlatul Ulama (NU)
6.989.333
18,47
91
4.
Partai Komunis Indonesia (PKI)
6.232.512
16,47
80
5.
Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII)
1.059.922
2,80
16
6.
Partai Kristen Indonesia (Parkindo)
988.810
2,61
16
7.
Partai Katolik
748.591
1,99
10
8.
Partai Sosialis Indonesia (PSI)
695.932
1,84
10
9.
Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
544.803
1,44
8
10.
Pergerakan Tarbiyah Islamiyah (Perti)
465.359
1,23
7
11.
Partai Rakyat Nasional (PRN)
220.652
0,58
3
12.
Partai Buruh
332.047
0,88
2
13.
Gerakan Pembela Panca Sila (GPPS)
152.892
040
2
14.
Partai Rakyat Indonesia (PRI)
134.011
0,35
2
15.
Persatuan Pegawai Polisi RI (P3RI)
179.346
0,47
3
16.
Murba
248.633
0,66
4
17.
Baperki
160.456 
0,42
2
18.
Persatuan Indonesia Raya (PIR) Wongsonegoro
162.420
0,43
2
19.
Grinda
157.976
0,42
2
20.
Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia Permai
164.386
0,43
2
21.
Persatuan Daya (PD)
169.222
0,45
3
22.
PIR Hazairin
101.509
0,27
2
23.
Partai Politik Tarikat Islam (PPTI)
74.913
0,20
1
24.
AKUI
84.862
0,22
1
25.
Persatuan Rakyat Desa (PRD)
39.278
0,10
1
26.
Partai Republik Indonesis Merdeka (PRIM)
143.907
0,38
2
27.
Angkatan Comunis Muda (Acoma)
55.844
0,15
1
28.
R.Soedjono Prawirisoedarso
38.356
0,10
1
29.
Gerakan Pilihan Sunda
35.035
0,09
1
30.
Partai Tani Indonesia
30.060
0,08
1
31.
Radja Keprabonan
33.660
0,09
1
32.
Gerakan Banteng Republik Indonesis (GBRI)
39.874
0,11
1
33.
PIR NTB
33.823
1,09
1
34.
L.M.Idrus Effendi
31.988
0,08
1
35.
Lain-lain
426.856
1,13
1

Jumlah
37.837.105 
100,00
514

6. Kabinet Ali Sastroamidjojo II
(20 Maret 1956 - 14 Maret 1957)

Kabinet Ali Sastroamidjojo II

(Analisis gerakan Assaat)
Untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing, khususnya Cina. Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi pada Oktober 1945.
Kebijakan tersebut memunculkan reaksi negatif dari golongan pembenci kalangan Cina hingga menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan pribumi.
Gerakan Assat yang terjadi pada tahun 1956 adalah, merupkan suatu gerakan ekonomi bangsa Indonesia.
Persoalan yang dibahas dalam tulisan ini adalah tentang kekhawatiran masyarakat Indonesia akan dominasi orang-orang Cina dalam perekonomian Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna, karena sebenarnya yang dikehendaki oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi.

7. Kabinet Djuanda/ Karya
(9 April 1957 - 5 Juli 1959)


 Kabinet Djuanda/ Karya

(Mengapa terdapat deklarsi Djuanda yang berkaitan dengan teritorial)

Deklarasi Djuanda Tentang Teritorial Laut Indonesia - pada masa Demokrasi Parlementer ini luas wilayah Indonesia tidak seluas wilayah Indonesia saat ini. Karena Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa: “laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”

Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, lebar laut 3 mil dirasakan tidak cukup menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. 

Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia. Sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia. 

Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:

Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.

Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.

Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar.

Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 tanpa memasukan wilayah Irian Barat, karena wilayah itu belum diakui secara internasional. Hal ini berdampak pula terhadap titik-titik pulau terluar yang menjadi garis batas yang mengelilingi RI menjadi sepanjang 8.069,8 mil laut. Meskipun Deklarasi Djuanda belum memperoleh pengakuan internasional, pemerintah RI kemudian menetapkan deklarasi tersebut menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang perairan Indonesia.

Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic State Principle atau negara kepulauan.

Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.

Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November 1994, setelah diratifikasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional. Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga tahun 1990an.
 


(Munculnya pemberontakan PRRI Permesta)
 
PRRI Permesta - PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958, Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
  • Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
  • Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
  • Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang.
  • Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
  • Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.

Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.

Tujuan pemberontakan

Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara yang digunakan untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut kepada pemerintah pusat dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi, jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan pemerintahan Republik Indonesia.

Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.

Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut untuk segera di usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.

Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.

Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.

Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA

Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.

Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.

Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA

Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan PRRI/PERMESTA, tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah.
Letnan Kolonel Ahmad Husein
Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai Menteri Dalam negeri. Dahlan Djambek sempat memegang jabatan itu sebelum Mr. Assaat tiba di Padang. Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri. Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo menjaba sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran. Moh Syafei menjabat sebagai Menteri PKK dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat sebagai Menteri Pembangunan. Saladin Sarumpet menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Pemburuhan. Muchtar Lintang menjabat sebagai Menteri Agama. Saleh Lahade menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ayah Gani Usman Menjabat Sebagai Menteri Sosial. Dahlan Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi.
  • Mayor Eddy Gagola
  • Kolonel Alexander Evert Kawilarang
  • Kolonel D.J Somba
  • Kapten Wim Najoan
  • Mayor Dolf Runturambi
  • Letkol Ventje Sumual    

Jangan Asal Copy Paste ya teman, ijin dulu sama yang punya :)
Sampai jumpa dalam Postingan selanjutnya ^^