Hai sahabat bloggers~ pada postingan kali ini
saya akan mempublish tugas Sejarah Indonesia yang saya dapatkan dari guru saya
^^
berikut ulasannya :
(6 September 1950 - 21 Maret 1951)
Kabinet Natsir
(Analisis Kondisi
Sosial Dan Budaya)
Pasca proklamasi kemerdekaan banyak terjadi
perubahan sosial yang ada di dalam kehidupan masyarakat Indonesia pada
khususnya. Dikarenakan sebelum kemerdekaan di proklamasikan, d idalam kehidupan
bangsa Indonesia ini telah terjadi diskriminasi rasial dengan membagi
kelas-kelas masyarakat. Yang mana masyarakat di Indonesia sebelum kemerdekaan
di dominasi oleh warga eropa dan jepang, sehingga warga pribumi hanyalah
masyarakat rendahan yang kebanyakan hanya menjadi budak dari bangsawan atau
penguasa.
Tetapi setelah 17 agustus 1945 segala bentuk
diskriminasi rasial dihapuskan dari bumi bangsa Indonesia dan semua warga
negara Indonesia dinyatakan memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam segala
bidang.
Kehidupan Sosial-Budaya Masa Demokrasi Liberal
a.
Pendidikan
Setelah
diadakan pengalihan pendidikan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah RIS
tahun 1950, oleh mentri pendidikan Dr. Abu Hannifah, disusun sebuah konsep
pendidikan yang menitik beratkan pada spesialisasi. Garis bersar konsep
tersebut mencakup berbagai hal diantaranya adalah pendidikan umum dan
pendidikan teknik dilaksanakan dengan perbandingan 3 : 1. Bagi setiap sekolah
umum mulai dari bawah ke atas diadakan 1 sekolah teknik. Sebagai lanjutannya
adalah sekolah teknik menengah dan sekplah teknik atas yang masing-masing
ditempuh dalam 3 tahun.
Selain
itu, karena Iindonesia adalah negara kepulauan, maka dibeberapa kota didakan
akademik pelayaran. Akademik Oseonografi dan Akademik Reserch Laut yang
didirikan di kota Surabaya, Makasar, Ambon, Manado, Padang dan Palembang. Untuk
tenaga pengajar didatangkan dari luar negeri seperti Inggris, Amerika dan
Prancis. Selanjutnya juga didirikan sekolah tinggi pertanian. Direncanakan
diSumatra Barat dekat Payakumbuh diadakan filial dari Sekolah Tinggi Pertanian
Bogor. Namun, konsepsi tersebut hilang saat kabiner Hatta berhenti. Oleh
Menteri Abu Hafiah juga dirancangkan kota universiter untuk kota Jakarta,
Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Bukittinggi. Direncanakan pula untuk
mendirikan akademik voor wetenschappen.
Sistem
pendidikan diadakan dengan titik berat desentralisasi, yaitu dari sekolah
dasar hingga sekolah menengah pertama menjadi urutan daerah dan supervisi
pusat. Sekolah menengah atas menjadi tanggung jawab pemerintah pusat baik
mengenai masalah keuangan maupun mata pelajaran. Dalamrangka konsolidasi
universitas-universitas negara, dikeluarkan Undang-Undang Darurat No. 7 tahun
1950 yang mewajibkan Mentri Pendidikn Pengajaran dan Kebudayaan Republik
Indonesia Serikat, jika perlu mengambil tindakan dari peraturan yang berlaku
dan lain lain.
B. Seni
Seni tari
pada periode tahun 1945-1955 pembaharuannya baru terbatas pada teknik
penyajian. Pada waktu itu pengaruh komunis sangat terasa, tarian klasik yang
dianggap berbau keraton dikesampingkan dan muncuk tarian yang bertema
kerakyatan dan kehidupan sehari-hari, seperti tari tani, tari tenun, tari
nelayan dan tari koperasi. Perkembangan semacam ini berkembang diseluruh tanah
air. Pada tahun 1950 di Surakarta didirikan Konservatori Karawitan, maksud dari
didirikannya konservatori karawitan ini adalah untuk mempertinggi serta
memperkembangkan karawitan.
C. Media
komunikasi masa
Ciri umum
dari pers pada masa demokrasi liberal adalah ditandai dengan prinsip-prinsip
liberal dalam penulisan berita, tajuk rencana da pojok. Pada umumnya memiliki
segi komersial yang kurang meskipun telah diasuh secara liberal.
Suatu ciri
khusus pada masa liberal adalah surat kabar bekas milik Dinas Penerangan
Belanda yang kemudian diambil alih oleh tenaga bangsa Indonesia. Ternyata dalam
pengurusannya jauh lebih baik dibandingkan pers yang diusahakan oleh modal
awasta nasional.
2. Kabiet Sukiman
(26 April 1951 - 23
Februari 1952)
(Dampak
positif negatif MSA)
Kabinet Sukiman
Dampak Positif Perjanjian MSA
1. Meningkatnya keamanan
negara Indonesia
Dengan tertandatanganinya perjanjian ini,
negara Indonesia mendapat bantuan militer dari AS untuk menjaga Indonesia dari
segala ancaman terutama ancaman paham komunis. Hal ini sesuai dengan isi
perjanjian tersebut dimana AS berusaha membendung paham komunis agar Teori
Domino tidak terjadi.
2. Perekonomian negara
Indonesia semakin maju
Tak hanya bantuan militer, Indonesia juga
mendapat bantuan ekonomi dari Amerika untuk meningkatkan pembangunan dan
mengatasi masalah perekonomian negara Indonesia, sesuai syarat yang ditawarkan
oleh AS, yaitu “Sebagai imbalan negara peminjam diwajibkan : Berusaha
menstabilkan keuangan masing-masing negara dan melaksanakan anggaran pendapatan
yang berimbang. Mengurangi penghalang-penghalang yang menghambat kelancaran
perdagangan antara negara-negara peminjam. Mencegah terjadinya inflasi.
Menempatkan perekonomian negara masing-masing negara atas dasar sendi-sendi
perekonomian yang sehat. Memberikan bahan-bahan yang diperlukan Amerika Serikat
untuk kepentingan pertahanan. Meningkatkan persenjataan masing-masing negara
untuk kepentingan pertahanan.”
3. Terhadangnya paham komunis
masuk ke Indonesia
Alasan utama mengapa AS mengadakan perjanjian ini adalah untuk menghadang
komunisme agar tida terjadi teori domino. Teori domino adalah teori yang berspekulasi
bahwa apabila sebuah negara di suatu kawasan terkena pengaruh komunisme,
negara-negara sekitarnya akan ikut dipengaruhi komunisme lewat efek domino.
Teori yang sering didengungkan pada tahun 1950-an sampai 1980-an ini digunakan
oleh beberapa presiden Amerika Serikat semasa Perang Dingin sebagai alasan
intervensi A.S. di seluruh dunia. Salah satu syarat agar mendapat bantuan AS
adalah “Bantuan akan dihentikan apabila di negara peminjam terjadi pergantian
kekuasaan yang mengakibatkan negara tersebut melaksanakan paham komunis.”
4. Terjalinnya sebuah kerja
sama antara Indonesia dengan AS
Dengan terjalinya kerja sama, hal ini akan
membantu sesama negara apabila mengalami kesulitan dalam mengelola negara
Dampak negatif perjanjian MSA
1. Lengsernya kabinet Sukiman
Pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri
Achmad Soebardjo dan Duta Besar Amerika Merle Cochran menjadi penyebab
lengsernya kabinet ini. Isi nota tersebut adalah bantuan ekonomi dan militer
yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan Mutual
Security Act (MSA) atau lebih dikenal dengan nama undang-undang kerja sama
keamanan.
Hal tersebut dinilai menciderai konsep politik
luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut oleh Indonesia. Kabinet Sukiman
dituduh telah menjadikan Indonesia masuk ke dalam Blok Barat. Hal itulah yang
membuat DPR menggugat kebijakan kabinet tersebut dan akhirnya kabinet tersebut
jatuh.
2. Tidak maksimalnya
pembangunan Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet Sukiman
Dengan lengsernya kabinet Sukiman, semua
pembangunan yang telah direncanakan sebelumnya tida terealisasikan, akibatnya
pembangunan di Indonesia tidak maksimal.
(30 Maret 1952 - 2 Juni 1953)
Kabinet Wilopo
(Analisis Peristiwa Tanjung
Morawa)
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi pada 16 Maret
1953 di daerah Tanjung Morawa (sekarang bernama Kabupaten Deli Serdang,
Sumatera Utara). Peristiwa ini merupakan konflik perebutan lahan seluas 255.000
Hektar yang merupakan perkebunan kelapa sawit, teh dan tembakau milik
perusahaan Belanda bernama Deli Palnters Vereniging (DPV) yang
dikerjakan oleh Pribumi dan keturunan Tionghoa ketika Jepang berkuasa di
Indonesia. Peristiwa Tanjung Morawa turut menyeret jatuhnya Kabinet Perdana
Menteri (PM) Wilopo pada era Demokrasi Liberal (1950-1959).
Permasalahan Tanjung Morawa muncul ketika tanah
yang sebelumnya digarap oleh pribumi dan Tionghoa harus dikembalikan kepada DPV
atas dasar Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan KMB menghasilkan pengakuan
kemerdekaan, namun dengan syarat pengembalian lahan kepada investor asing tak
terkecuali Belanda. Luas tanah DPV sebelum meletusnya PD II adalah 255.000 Ha.
Tanah seluas 125.000 Ha adalah tanah yang diminta DPV, sedangkan sisanya yaitu
130.000 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
Atas kesepakatan tersebut, Kabinet Wilopo mengutus Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem untuk melakukan pengosongan lahan. Pengosongan tersebut ditujukan kepada Gubernur Sumatera, A. Hakim. Perintah tersebut semula akan dituruti oleh masyarakat petani dan keturunan Tionghoa, namun terjadi provokasi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi dibawah naungan PKI sehingga yang awalnya bersikap kooperatif menjadi menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut.
Penolakan tersebut akhirnya berujung pada konflik pada tanggal 16 Maret 1953. Pemerintah mengerahkan unit traktor dan mendapatkan perlindungan dari aparat Brigade Mobil (Brimob). Para petani melakukan aksi demonstrasi atas pentraktoran dan bentrokpun tak terhindarkan. Pada insiden tersebut terjadi tragedi penembakan yang menimbulkan 21 korban, dimana 6 diantaranya tewas.
Insiden ini kemudian menjadi perbincangan di Parlemen Indonesia. Bisa dibilang kejadian Tanjung Morawa kemudian menjadikan kesempatan dari partai oposisi di parlemen untuk menjatuhkan Kabinet Wilopo. Tokoh - tokoh PNI mencela pemerintah, kemudian Sidik Kertapati yang merupakan tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) melayangkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo. Akibat mosi tidak percaya ini, kemudian diadakan tindak lanjut dan diputuskan PM Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
Atas kesepakatan tersebut, Kabinet Wilopo mengutus Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem untuk melakukan pengosongan lahan. Pengosongan tersebut ditujukan kepada Gubernur Sumatera, A. Hakim. Perintah tersebut semula akan dituruti oleh masyarakat petani dan keturunan Tionghoa, namun terjadi provokasi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi dibawah naungan PKI sehingga yang awalnya bersikap kooperatif menjadi menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut.
Penolakan tersebut akhirnya berujung pada konflik pada tanggal 16 Maret 1953. Pemerintah mengerahkan unit traktor dan mendapatkan perlindungan dari aparat Brigade Mobil (Brimob). Para petani melakukan aksi demonstrasi atas pentraktoran dan bentrokpun tak terhindarkan. Pada insiden tersebut terjadi tragedi penembakan yang menimbulkan 21 korban, dimana 6 diantaranya tewas.
Insiden ini kemudian menjadi perbincangan di Parlemen Indonesia. Bisa dibilang kejadian Tanjung Morawa kemudian menjadikan kesempatan dari partai oposisi di parlemen untuk menjatuhkan Kabinet Wilopo. Tokoh - tokoh PNI mencela pemerintah, kemudian Sidik Kertapati yang merupakan tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) melayangkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo. Akibat mosi tidak percaya ini, kemudian diadakan tindak lanjut dan diputuskan PM Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953.
(30 Juli 1953 - 24 Juli 1955)
Kabinet Ali Sastroamidjojo I
(Analisis mengapa terdapat koalisi PNI dan NU, sedangkan
Masyumi sebagai oposisi)
Pada tanggal 3 Juni 1953, Perdana Menteri Wilopo
mengembalikan mandatnya kepada Presiden sebagai akibat dari Peristiwa Tanjung
Morawa. Dengan demikian kabinet dinyatakan demisioner. Kabinet Ali
Sastroamijdojo merupakan kabinet pengganti dari Kabinet Wilopo. Kabinet Ali
mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan selama 58 hari
(sepeninggalan Kabinet Wilopo).
Untuk mengisi jabatan Perdana Menteri ditunjuk Ali
Sastroamidjojo yang saat itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika
Serikat. Ali Sastroamidjojo dari PNI sempat ragu, karena selama ini belum
pernah diajak bicara oleh partainya mengenai pembentukkan kabinet. Tetapi
setelah didesak oleh Ketua Umum PNI, Sidik Joyosukarto, akhirnya Ali
Sastroamidjojo mau menduduki jabatan perdana menteri. Akhirnya pada tanggal 30
Juli 1953, Presiden mengumumkan pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo yang
kemudian disahkan dengan Keputusan Presiden RI No. 132 Tahun 1953 tertanggal 30
Juli 1953. Pelantikan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri dilangsungkan
di Istana Negara pada tanggal 12 Agustus 1953.
Dalam Kabinet Ali, Masyumi merupakan partai
terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam hal ini NU (Nahdatul
Ulama) kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik baru. Maka dari itu,
terjadilah koalisi antara PNI dan NU. Mengapa Masyumi tidak ikut serta sehingga
menjadi pihak oposisi? Hal ini karena adanya beberapa perbedaan dan arah tujuan
di antara kalangan politii pada waktu revolusi.
Perseteruan antara Presiden dan Masyumi terjadi
pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang terjadi perbedaan pendapat antara
Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian dengan Jepang, dan penerimaan
bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan Sukiman yang akan melakukan
pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno tetap menahan diri. Kabinet
Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya satu-satunya usaha yang
serius pada masa itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis menjadi
marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan Masyumi,
karena strategi mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih terus
bertikai satu sama lain.
Selanjutnya pada kabinet Wilopo perdebatan antara
Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah ideologi atau dasar negara Indonesia.
Sukarno pernah berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan tanggal 27 Januari
1953. Pada kesempatan itu pula ia berpidato tentang keinginan negara nasional
dan bukan negara berdasarkan Islam. Pernyataan Sukarno itu mendapat tanggapan
berbagai kalangan, khususnya tokoh-tokoh Masyumi.
Keterlibatan PKI sejauh ini belum terlalu memiliki
pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang memanasnya hubungan Sukarno dengan
Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden,
Kabinet Ali I mulai menjalankan pemerintahan pada tanggal 12 Maret 1953. Pada
masa inilah untuk pertama kalinya Masyumi tidak duduk dalam kabinet, sehingga
menempatkan Masyumi dalam partai oposisi.
(12 Agustus 1955 - 3 Maret 1956)
(Analisis kondisi rakyat untuk pemilu pertama kali)
Pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap.
Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat
Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan
dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak
manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun
1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai
sekarang.
Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting
sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan
parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum
Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok
militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat
luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali
jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara;
korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi
berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang
mapan, pengorganisasianpemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan
wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang
pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa. Partai-partai
berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya
mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per
satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih
yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu
dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan
kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith
dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak
kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada
akhirnya menambah beban biaya.
Hasil Pemilu Tahap I(29 september 1955)
Pada tanggal 29 September 1955 lebih dari 39 juta rakyat Indonesia
memberikan suararanya dikotak-kotak suara. Hasil pemilihan Umum I yang diikuti
172 kontestan Pemilu 1955, hanya 28 kontestan (tiga diantaranya perseorangan)
yang berhasil memperoleh kursi. Empat partai besar secara berturut-turut
memenangkan kursi: Partai Nasional Indonesia (57 kursi/22,3%), Masyumi (57
kursi/20,9%), Nahdlatul Ulama (45 kursi/18,4%), dan Partai Komunis Indonesia
(39 kursi/15,4%).
Berikut merupakan tabel hasil Pemilu tahap pertama tahun 1955 :
No
|
Nama Partai
|
Julmlah Suara
|
Prosentase
|
Jumlah Kursi
|
1.
|
Partai Nasional
Indonesia (PNI)
|
8.434.653
|
22,32
|
57
|
2.
|
Masyumi
|
7.903.886
|
20,92
|
57
|
3.
|
Nahdlatul Ulama (NU)
|
6.955.141
|
18,41
|
45
|
4.
|
Partai Komunis Indonesia
(PKI)
|
6.179.914
|
16,36
|
39
|
5.
|
Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII)
|
1.091.160
|
2,89
|
8
|
6.
|
Partai Kristen Indonesia
(Parkindo)
|
1.003.326
|
2,66
|
8
|
7.
|
Partai Katolik
|
770.740
|
2,04
|
6
|
8.
|
Partai Sosialis
Indonesia (PSI)
|
753.191
|
1,99
|
5
|
9.
|
Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
541.306
|
1,43
|
4
|
10.
|
Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah (Perti)
|
483.014
|
1,28
|
4
|
11.
|
Partai Rakyat Nasional
(PRN)
|
242.125
|
0,64
|
2
|
12.
|
Partai Buruh
|
224.167
|
0,59
|
2
|
13.
|
Gerakan Pembela Panca
Sila (GPPS)
|
219.985
|
0,58
|
2
|
14.
|
Partai Rakyat Indonesia
(PRI)
|
206.161
|
0,55
|
2
|
15.
|
Persatuan Pegawai Polisi
RI (P3RI)
|
200.419
|
0,53
|
2
|
16.
|
Murba
|
199.588
|
0,53
|
2
|
17.
|
Baperki
|
178.887
|
0,47
|
1
|
18.
|
Persatuan Indonesia Raya
(PIR) Wongsonegoro
|
178.481
|
0,47
|
1
|
19.
|
Grinda
|
154.792
|
0,41
|
1
|
20.
|
Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia (Permai)
|
149.287
|
0,40
|
1
|
21.
|
Persatuan Daya (PD)
|
146.054
|
0,39
|
1
|
22.
|
PIR Hazairin
|
114.644
|
0,30
|
1
|
23.
|
Partai Politik Tarikat
Islam (PPTI) 85.
|
85.131
|
0,22
|
1
|
24.
|
AKUI
|
81.454
|
0,21
|
1
|
25.
|
Persatuan Rakyat Desa
(PRD)
|
77.919
|
0,21
|
1
|
26.
|
Partai Republik
Indonesis Merdeka (PRIM)
|
72.523
|
0,19
|
1
|
27.
|
Angkatan Comunis Muda
(Acoma)
|
64.514
|
0,17
|
1
|
28
|
R.Soedjono
Prawirisoedarso
|
53.306
|
0,14
|
1
|
29.
|
Lain-lain
|
1.022.433
|
2,71
|
1
|
37.785.299
|
100,00
|
257
|
Keseluruhan kursi yang diperoleh adalah sebesar 257 kursi. Tiga kursi sisa
diberikan pada wakil Irian Barat yang keanggotaannya diangkat Presiden. Selain
itu diangkat juga 6 anggota parlemen mewakili Tonghoa dan 6 lagi mewakili
Eropa. Dengan demikian keseluruhan anggota DPR hasil Pemilu 1955 adalah 272
orang.
Hasil Pemilu Tahap II
Jumlah kursi anggota Konstituante dipilih sebanyak 520, tetapi di Irian
Barat yang memiliki jatah 6 kursi tidak ada pemilihan. Maka kursi yang dipilih
hanya 514. Hasil pemilihan anggota Dewan Konstituante menunjukkan bahwa PNI, NU
dan PKI meningkat dukungannya, sementara Masyumi, meski tetap menjadi pemenang
kedua, perolehan suaranya merosot 114.267 dibanding-kan suara yang diperoleh
dalam pemilihan anggota DPR.
Peserta pemilihan anggota Konstituante yang mendapatkan kursi itu adalah
sebagai berikut :
No
|
Nama Partai
|
Jumlah Suara
|
Prosentase
|
Jumlah Kursi
|
1.
|
Partai Nasional
Indonesia (PNI)
|
9.070.218
|
23,97
|
119
|
2.
|
Masyumi
|
7.789.619
|
20,59
|
112
|
3.
|
Nahdlatul Ulama (NU)
|
6.989.333
|
18,47
|
91
|
4.
|
Partai Komunis Indonesia
(PKI)
|
6.232.512
|
16,47
|
80
|
5.
|
Partai Syarikat Islam
Indonesia (PSII)
|
1.059.922
|
2,80
|
16
|
6.
|
Partai Kristen Indonesia
(Parkindo)
|
988.810
|
2,61
|
16
|
7.
|
Partai Katolik
|
748.591
|
1,99
|
10
|
8.
|
Partai Sosialis
Indonesia (PSI)
|
695.932
|
1,84
|
10
|
9.
|
Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
|
544.803
|
1,44
|
8
|
10.
|
Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah (Perti)
|
465.359
|
1,23
|
7
|
11.
|
Partai Rakyat Nasional
(PRN)
|
220.652
|
0,58
|
3
|
12.
|
Partai Buruh
|
332.047
|
0,88
|
2
|
13.
|
Gerakan Pembela Panca
Sila (GPPS)
|
152.892
|
040
|
2
|
14.
|
Partai Rakyat Indonesia
(PRI)
|
134.011
|
0,35
|
2
|
15.
|
Persatuan Pegawai Polisi
RI (P3RI)
|
179.346
|
0,47
|
3
|
16.
|
Murba
|
248.633
|
0,66
|
4
|
17.
|
Baperki
|
160.456
|
0,42
|
2
|
18.
|
Persatuan Indonesia Raya
(PIR) Wongsonegoro
|
162.420
|
0,43
|
2
|
19.
|
Grinda
|
157.976
|
0,42
|
2
|
20.
|
Persatuan Rakyat Marhaen
Indonesia Permai
|
164.386
|
0,43
|
2
|
21.
|
Persatuan Daya (PD)
|
169.222
|
0,45
|
3
|
22.
|
PIR Hazairin
|
101.509
|
0,27
|
2
|
23.
|
Partai Politik Tarikat
Islam (PPTI)
|
74.913
|
0,20
|
1
|
24.
|
AKUI
|
84.862
|
0,22
|
1
|
25.
|
Persatuan Rakyat Desa
(PRD)
|
39.278
|
0,10
|
1
|
26.
|
Partai Republik
Indonesis Merdeka (PRIM)
|
143.907
|
0,38
|
2
|
27.
|
Angkatan Comunis Muda
(Acoma)
|
55.844
|
0,15
|
1
|
28.
|
R.Soedjono
Prawirisoedarso
|
38.356
|
0,10
|
1
|
29.
|
Gerakan Pilihan Sunda
|
35.035
|
0,09
|
1
|
30.
|
Partai Tani Indonesia
|
30.060
|
0,08
|
1
|
31.
|
Radja Keprabonan
|
33.660
|
0,09
|
1
|
32.
|
Gerakan Banteng Republik
Indonesis (GBRI)
|
39.874
|
0,11
|
1
|
33.
|
PIR NTB
|
33.823
|
1,09
|
1
|
34.
|
L.M.Idrus Effendi
|
31.988
|
0,08
|
1
|
35.
|
Lain-lain
|
426.856
|
1,13
|
1
|
Jumlah
|
37.837.105
|
100,00
|
6.
Kabinet Ali Sastroamidjojo II
(20
Maret 1956 - 14 Maret 1957)
Kabinet Ali Sastroamidjojo II
(Analisis gerakan Assaat)
Untuk meningkatkan
pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat memberikan
perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia asli dalam segala aktivitas
usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing, khususnya
Cina. Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa akan memberikan lisensi khusus
pada pengusaha pribumi pada Oktober 1945.
Kebijakan tersebut
memunculkan reaksi negatif dari golongan pembenci kalangan Cina hingga
menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik
masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan pribumi.
Gerakan Assat yang terjadi pada tahun 1956
adalah, merupkan suatu gerakan ekonomi bangsa Indonesia.
Persoalan yang dibahas dalam tulisan ini adalah tentang kekhawatiran masyarakat Indonesia akan dominasi orang-orang Cina dalam perekonomian Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna, karena sebenarnya yang dikehendaki oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi.
Persoalan yang dibahas dalam tulisan ini adalah tentang kekhawatiran masyarakat Indonesia akan dominasi orang-orang Cina dalam perekonomian Indonesia. Keadaan ini kemudian mengilhami para pengusaha Indonesia untuk mencari jalan pemecahan bagi kesenjangan ekonomi yang ada, karena langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah belum mencapai hasil sebagaimana yang diharapkan. Untuk itu maka dibentuk suatu organisasi sebagai wadah perjuangannya atau Badan Perjuangan KENSI. yang kemudian terkenal sebagai Gerakaan Assaat, yang diambil dari nama Mr. Assaat (Presiden RI pada masa RIS) sebagai orang yang dinilai sangat bersimpati terhadap penderitaan bangsanya. Sebenarnya yang dipersoalkan oleh gerakan ini tidak hanya masalah ekonomi, tetapi juga tentang sikap hidup golongan Cina dalam masyarakat Indonesia yang cenderung eksklusif dan tidak memiliki rasa nasionalis Indonesia. Kesimpulan dari skripsi ini adalah bahwa walaupun Gerakan Assaat menyebabkan kekerasan terhadap golongan Cina, tetapi sebenarnya Gerakan Assaat bukanlah Gerakan Rasdiskriminasi sebagamana dituduhkan oleh golongan CIna, karena sebenarnya yang dikehendaki oleh gerakan ini bukanlah kekerasan, tetapi keseimbangan ekonomi dan rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi dari golongan Cina terhadap bangsa Indonesia. Semua itu hanyalah merupakan ungkapan emosional masyarakat pribumi terhadap suatu golongan yang selama ini telah dinilai kurang mampu membaurkan diri dan mengancam eksistensinya, khususnya dalam dunia ekonomi.
(9 April 1957 - 5 Juli 1959)
Kabinet Djuanda/ Karya
(Mengapa terdapat deklarsi Djuanda yang berkaitan dengan
teritorial)
Deklarasi Djuanda Tentang
Teritorial Laut Indonesia - pada masa Demokrasi Parlementer ini luas
wilayah Indonesia tidak seluas wilayah Indonesia saat ini. Karena Indonesia
masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen
Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa: “laut
territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah
(laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian
dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia jelas
merasa dirugikan, lebar laut 3 mil dirasakan tidak cukup menjamin dengan
sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas 3 mil dari daratan
menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia.
Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa
hambatan.
Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam
melakukan pengawasan wilayah Indonesia. Sebagai suatu negara yang berdaulat
Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang
dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik
Indonesia.
Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan
Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan nusantara yang
berbunyi:
Segala
perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan
pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak
memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah
daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari
pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara
Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi
kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/
menganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia.
Dari
deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan
merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi
pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya
deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan
wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan
dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.
Deklarasi
Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut
sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun
harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan
nasional. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil
batas air terendah menjadi 12 mil dari batas pulau terluar.
Kondisi
ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya
2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2 tanpa memasukan wilayah Irian Barat, karena
wilayah itu belum diakui secara internasional. Hal ini berdampak pula terhadap
titik-titik pulau terluar yang menjadi garis batas yang mengelilingi RI menjadi
sepanjang 8.069,8 mil laut. Meskipun Deklarasi Djuanda belum memperoleh
pengakuan internasional, pemerintah RI kemudian menetapkan deklarasi tersebut
menjadi UU No. 4/PRP/1960 tentang perairan Indonesia.
Dikeluarkannya
Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi
landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian
masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan
diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui
konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang
tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai Archipelagic
State Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi
Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam
Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982
(United Nations Convention On The Law of The Sea/ UNCLOS 1982). Pemerintah
Indonesia kemudian meratifikasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan
UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan.
Setelah
diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November
1994, setelah diratifikasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh
dunia internasional. Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi
kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia
mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari
tahun 1970an hingga tahun 1990an.
(Munculnya pemberontakan PRRI Permesta)
PRRI Permesta - PRRI membentuk Dewan Perjuangan dan tidak
mengakui kabinet Djuanda. Dewan Perjuangan PRRI akhirnya membentuk Kabinet baru
yang disebut Kabinet Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (Kabinet
PRRI). Pembentukan kabinet ini terjadi pada saat Presiden Soekarno sedang
melakukan kunjungan kenegaraan di Tokyo, Jepang. Pada tanggal 10 Februari 1958,
Dewan Perjuangan PRRI melalui RRI Padang mengeluarkan pernyataan berupa “Piagam
Jakarta” yang berisi sejumlah tuntutan yang ditujukan kepada Presiden Soekarno
supaya “bersedia kembali kepada kedudukan yang konstitusional, menghapus segala
akibat dan tindakan yang melanggar UUD 1945 serta membuktikan kesediaannya itu
dengan kata dan perbuatan…”. Tuntutan tersebut antara lain :
- Mendesak kabinet Djuanda supaya mengundurkan diri dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.
- Mendesak pejabat presiden, Mr. Sartono untuk membentuk kabinet baru yang disebut Zaken Kabinet Nasional yang bebas dari pengaruh PKI (komunis).
- Mendesak kabinet baru tersebut diberi mandat sepenuhnya untuk bekerja hingga pemilihan umum yang akan datang.
- Mendesak Presiden Soekarno membatasi kekuasaannya dan mematuhi konstitusi.
- Jika tuntutan tersebut di atas tidak dipenuhi dalam waktu 5×24 jam maka Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
Setelah tuntutannya di tolak, PRRI membentuk sebuah Pemerintahan
dengan anggota kabinetnya. Pada saat pembangunan Pemerintahan tersebut di
mulai, PRRI memperoleh dukungan dari PERMESTA dan rakyat setempat.
Pada tanggal 2 Maret 1957, di Makasar yang berada di wilayah timur Negara Indonesia terjadi sebuah acara proklamasi Piagam Perjuangan Republik Indonesia (PERMESTA) yang diproklamasikan oleh Panglima TT VII, Letkol Ventje Sumual. Pada hari berikutnya, PERMESTA mendukung kelompok PRRI dan pada akhirnya kedua kelompok itu bersatu sehingga gerakan kedua kelompok itu disebut PRRI/PERMESTA. Tokoh-tokoh PERMESTA terdiri dari beberapa pasukan militer yang diantaranya adalah Letnan Kolonel D.J Samba, Letnan Kolonel Vantje Sumual, Letnan Kolonel saleh Lahade, Mayor Runturambi, dan Mayor Gerungan.
Tujuan pemberontakan
Tujuan dari pemberontakan PRRI ini adalah untuk mendorong pemerintah supaya memperhatikan pembangunan negeri secara menyeluruh, sebab pada saat itu pemerintah hanya fokus pada pembangunan yang berada di daerah Pulau jawa. PRRI memberikan usulan atas ketidakseimbangan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah pusat.
Meskipun alasan yang dilakukan oleh PRRI ini benar, namun cara
yang digunakan untuk mengoreksi pemerintah pusat itu salah. PRRI menuntut
kepada pemerintah pusat dengan nada paksaan, sehingga pemerintah menganggap
bahwa tuntutannya itu bersifat memberontak. Hal tersebut menimbulkan kesan bagi
pemerintah pusat bahwa PRRI adalah suatu bentuk pemberontakan. Akan tetapi,
jika PRRI itu dikatakan sebagai pemberontak, hal ini merupakan anggapan yang
tidak tepat sebab sebenarnya PRRI ingin membenahi dan memperbaiki sistem
pembangunan yang dilakukan pemerintah pusat, bukan untuk menjatuhkan
pemerintahan Republik Indonesia.
Karena ketidakpuasan PRRI terhadap keputusan pemerintah pusat, akhirnya PRRI membentuk dewan-dewan daerah yang terdiri dari Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda. Pada tanggal 15 Februari 1958, Achmad Husein memproklamasikan bahwa berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia dengan Syarifudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Proklamasi PRRI tersebut mendapat sambutan hangat dari masyarakat Indonesia bagian Timur. Tidak lama setelah proklamasi PRRI dilakukan, pasukan gerakan PERMESTA memutuskan untuk bergabung ke dalam kelompok PRRI. Dalam rapat raksasa yang diselenggarakan di beberapa daerah, Kolonel D.J Somba menyatakan bahwa pada tanggal 17 Februari 1958, Komando Daerah Sulawesi Utara dan Sulawesi tengah menyatakan putus hubungan dengan pemerintahan pusat dan mendukung PRRI.
Usaha Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Terjadinya pemberontakan PRRI/PERMESTA ini mendorong pemerintahan RI untuk mendesak Kabinet Djuanda dan Nasution aupaya menindak tegas pemberontakan yang dilakukan oleh organisasi PRRI/PERMESTA tersebut. Kabinet Nasution dan para mayoritas pimpinan PNI dan PKI menghendaki supaua pemberontakan tersebut untuk segera di usnahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sementara itu, untuk pimpinan Masyumi dan PSI yang berada di Jakarta sedang mendesak adanya perundingan dan penyelesaian secara damai. Namun pada akhirnya, pemerintah RI memilih untuk menindak para pemberontak itu dengan tegas. Pada akhir bulan Februari, Angkatan Udara Republik Indonesia memulai pengeboman instansi-instansi penting yang berada di kota Padang, Bukit Tinggi, dan Manado.
Pada awal bulan Maret, pasukan dari Divisi Diponogoro dan Siliwangi yang berada di bawah pimpinan Kolonel Achmad Yani didaratkan di daratan Pulau Sumatera. Sebelum pendaratan itu dilakukan, Nasution telah mengiriman Pasukan Resmi Para Komando Angkatan Darat di ladang-ladang minyak yang berada di kepulauan Sumatera dan Riau. Pada tanggal 14 Maret 1958, daerah Pecan Baru berhasil dikuasai, dan Operasi Militer kemudian dikerahkan ke pusat pertahanan PRRI. Pada tanggal 4 Mei 1958 Bukit tinggi berhasil dikuasai dan selanjutnya Pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) membereskan daerah-daerah bekas pemberontakan PRRI. Pada penyerangan tersebut, banyak pasukan PRRI yang melarikan diri ke area perhutanan yang berada di daerah tersebut.
Untuk melancarkan penumpasan terhadap Pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan Operasi Militer yang operasinya disebut Operasi Merdeka pada bulan April 1958 dan operasi tersebut di pimpin oleh Letkol Rukminto Hendradiningrat. Organisasi PERMESTA diduga mendapatkan bantuan dari tentara asing, dan bukti dari bantuan tersebut adalah jatuhnya pesawat yang dikemudikan oleh A.L Pope (Seorang Warga negara Amerika) yang tertembak jatuh di Ambon pada tanggal 18 Mei 1958. Pada tanggal 29 Mei 1961, Achmad Husein menyerahkan diri, dan pada pertengahan tahun 1961, para tokoh-tokoh yang bergabung dalam gerakan PERMESTA juga menyerahkan diri.
Dampak Dari Pemberontakan PRRI/PERMESTA
Pemberontakan yang dilakukan oleh gerakan PRRI/PERMESTA ini membawa dampak besar terhadap hubungan dan politik luar negeri Indonesia. Dukungan dari negara Amerika Serikat terhadap pemberontakan tersebut membuat hubungan antara Indonesia dengan Amerika menjadi tidak harmonis. Apalagi dukungan dari Amerika Serikat terhadap PRRI/PERMESTA terbukti benar dengan jatuhnya pesawat pengebom B-26 yang dikemudikan oleh seorang pilot bernama Allen Pope pada tanggal 18 Mei 1958 di lokasi yang tidak jauh dari kota Ambon. Presiden RI, Ir. Soekarno beserta para pemimpin sipil, dan militernya memiliki perasaan curiga terhadap negara Amerika Serikat dan Negara lainnya. Malaysia yang baru merdeka pada tahun 1957 ternyata juga mendukung gerakan PRRI dengan menjadikan wilayahnya sebagai saluran utama pemasok senjata bagi pasukan PRRI. Begitu pula dengan Filipina, Singapura, Korea Selatan (Korsel), dan Taiwan juga mendukung gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI.
Akibat dari pemberontakan ini, pemerintah pusat akhirnya membentuk sebuah pasukan untuk menumpas pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI. Hal ini mengakibatkan pertumpahan darah dan jatuhnya korban jiwa baik dari TNI maupun PRRI. Selain itu, pembangunan menjadi terbengakalai dan juga menimbulkan rasa trauma di masyarakat Sumatera terutama daerah Padang.
Tokoh-Tokoh PRRI/PERMESTA
Inilah tokoh-tokoh yang ikut serta dalam melangsungkan pemberontakan PRRI/PERMESTA, tokoh-tokoh tersebut di antaranya adalah.
Letnan Kolonel Ahmad Husein
Pejabat-Pejabat Kabinet PRRI, yakni: Mr. Syarifudin Prawiranegara
yang menjabat sebagai Menteri Keuangan. Mr. Assaat Dt. Mudo yang menjabat sebagai
Menteri Dalam negeri. Dahlan Djambek sempat memegang jabatan itu sebelum Mr.
Assaat tiba di Padang. Mauludin Simbolon sebagai Menteri Luar Negeri. Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesoemo menjaba sebagai Menteri Perhubungan dan Pelayaran.
Moh Syafei menjabat sebagai Menteri PKK dan Kesehatan. J.F Warouw menjabat
sebagai Menteri Pembangunan. Saladin Sarumpet menjabat sebagai Menteri
Pertanian dan Pemburuhan. Muchtar Lintang menjabat sebagai Menteri Agama. Saleh
Lahade menjabat sebagai Menteri Penerangan. Ayah Gani Usman Menjabat Sebagai
Menteri Sosial. Dahlan Djambek menjabat sebagai Menteri Pos dan Telekomunikasi.
- Mayor Eddy Gagola
- Kolonel Alexander Evert Kawilarang
- Kolonel D.J Somba
- Kapten Wim Najoan
- Mayor Dolf Runturambi
- Letkol Ventje Sumual
Jangan Asal Copy Paste ya teman, ijin dulu sama yang punya :)
Sampai jumpa dalam Postingan selanjutnya ^^